Esensi Tahun Baru Hijriyah
Tahun Baru Hijriyah bukan sekadar pergantian waktu dalam
kalender Islam. Tetapi lebih dari itu, ia merupakan momen spiritual yang sarat
makna. Kita sebagai umat Islam patut menjadikan momen ini sebagai ajang
perenungan mendalam terhadap perjalanan hidup yang telah dilalui dan arah
langkah ke depan yang hendak dituju. Sebagaimana Rasulullah SAW memulai Hijrah
dari Makkah ke Madinah, perjalanan itu bukan hanya perpindahan geografis, namun
transformasi sejarah, sosial, dan spiritual umat Islam. Maka, kita perlu
menelaah kembali esensi hijrah sebagai simbol perubahan, perjuangan, dan
pembaharuan diri.
Di tengah dinamika zaman yang kompleks, kita kerap terjebak
dalam rutinitas dan kehilangan arah nilai-nilai spiritual. Tahun Baru Hijriyah
mengingatkan kita untuk sejenak berhenti, merefleksi, dan bertanya: sudahkah
kita hijrah dari keburukan menuju kebaikan? Sudahkah kita memperbaiki niat,
perilaku, dan tujuan hidup kita untuk lebih dekat kepada Allah SWT? Dalam
konteks yang lebih luas, refleksi ini juga menjadi panggilan bagi umat dan
bangsa untuk melakukan muhasabah kolektif demi terciptanya masyarakat yang
lebih adil, damai, dan beradab.
Refleksi Hijrah Rasulullah SAW
Tahun Baru Islam menjadi momen strategis untuk merefleksikan
makna hijrah sebagai transformasi spiritual dan sosial. Dalam Al-Qur’an, Allah
SWT berfirman:
"Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang
yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat
Allah; dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Al-Baqarah:
218)
Ayat ini menegaskan bahwa hijrah bukan hanya tentang
berpindah tempat, melainkan mencerminkan perpindahan nilai: dari kegelapan
menuju cahaya, dari kejahilan menuju ilmu, dari kemaksiatan menuju ketaatan.
Maka, dalam momen ini, kita sebagai individu maupun umat diajak untuk
memperbaharui komitmen keimanan dan amal shaleh kita.
Refleksi Tahun Baru Hijriyah juga mengingatkan kita bahwa
hidup bukan sekadar berjalan tanpa arah, namun menuntut kita untuk senantiasa
memperbaiki diri dan memperdalam nilai-nilai Islam dalam keseharian. Dalam
konteks akademik dan profesional, misalnya, semangat hijrah dapat
diimplementasikan dalam bentuk peningkatan etos kerja, integritas, serta
kontribusi nyata bagi umat.
Lebih dari itu, refleksi tahun baru hijriyah juga menyentuh
aspek sosial dan kebangsaan. Pada momentum bahagia ini, umat Islam dan bangsa
Indonesia pada umumnya perlu menjadikan tahun baru Islam sebagai waktu untuk
memperkuat solidaritas, memerangi kemiskinan, kebodohan, dan perpecahan. Bangsa
yang besar bukanlah bangsa yang tanpa masalah, tetapi bangsa yang mampu merefleksi
diri dan melakukan pembaruan secara terus-menerus.
Momentum ini mengingatkan kita pula pada pentingnya
memperbaiki hubungan antar manusia (habl min al-nas) dan hubungan dengan Allah
(habl min Allah). Kita perlu menyucikan hati dari dengki, amarah, dan
keegoisan, lalu menggantinya dengan ketulusan, keikhlasan, dan kasih sayang.
Seperti pesan QS. Al-Hasyr ayat 9:
"…dan orang-orang yang menahan dirinya dari kekikiran,
mereka itulah orang-orang yang beruntung." (QS. Al-Hasyr: 9)
Ayat ini menekankan pentingnya keikhlasan dan kepedulian
sosial dalam proses hijrah menuju insan yang lebih baik. Karena sejatinya,
pembaruan diri tidak akan berarti jika tidak diiringi dengan kepedulian
terhadap sesama.
Doa dan Harapan Bersama
Tahun Baru Hijriyah adalah momen istimewa yang seharusnya
tidak kita lewati begitu saja. Ia adalah waktu terbaik untuk bermuhasabah,
memperbaiki niat, dan memperbaharui tekad menuju pribadi dan umat yang lebih
baik. Semangat hijrah yang diwariskan oleh Rasulullah SAW mengajarkan kepada
kita nilai keberanian, keteguhan hati, dan pengorbanan untuk mencapai perubahan
yang diridhai Allah.
Mari kita jadikan tahun baru Islam 1446 H ini sebagai
tonggak awal transformasi diri, keluarga, masyarakat, dan bangsa. Dengan niat
yang lurus, ikhtiar yang sungguh-sungguh, dan doa yang tulus, kita bisa
menjadikan tahun ini lebih bermakna, lebih bertakwa, dan lebih penuh berkah.
Semoga Allah SWT senantiasa membimbing langkah kita dalam hijrah yang sejati dari
kegelapan menuju cahaya, dari kekeliruan menuju kebenaran, dan dari kelemahan
menuju kekuatan iman dan amal.
"Barang siapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka
akan mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak.
Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan
Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya, maka sungguh pahalanya telah
ditetapkan di sisi Allah. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS.
An-Nisa: 100)